HAPUS SAJA HARI IBU

HAPUS SAJA HARI IBU
‘HAPUS’ SAJA HARI IBU!
*by Heti Palestina Yunani
Saya perempuan -sudah ibu- tapi sudah lama tak terlalu mendukung Hari Ibu (saja). Bukan apa-apa, konteksnya sudah perlu diperluas (lagi). Sejak (baru) ditetapkan menjadi Hari Ibu pada Kongres Perempuan 1938 (10 tahun setelah Kongres Perempuan I), sebenarnya Hari Ibu yang dimaksud dari hasil keputusan Kongres Perempuan 1935 itu sangat universal. Salah satunya memutuskan jika Perempuan Indonesia berkewajiban berusaha supaya generasi baru sadar akan kewajiban kebangsaan: menjadi “Ibu Bangsa.” Luar biasa kan keputusannya?
Dalam konteks ini tentu saja yang harus diucapi “Selamat Hari Ibu” sebenarnya bukan saja perempuan yang menjadi ibu karena rahimnya sudah terpakai untuk menjadi jalan takdir manusia sebagai anaknya. Tak lah. Sebagai ibu, perempuan itu juga penting menjadi ibu bangsa. Artinya setiap perempuan, entah ibu atau belum, berpotensi untuk mengambil peran itu secara equal. Tentu mereka juga para perempuan yang tak pernah melahirkan atau memang memilih melajang selama hidupnya. Betapa kita sangatlah setuju mengucapkan Selamat Hari Ibu kepada Mother Theresa bukan? Tidak pernah menjadi ibu biologis tapi ia dipanggil ibu.
Perannya sebagai ibu bagi anak-anak dan segala bangsa di seluruh dunia itu lebih dari ibu ketimbang perempuan yang sudah ibu tapi tak pernah memberi kasih sayang pada anak-anaknya atau tak pernah menyumbang kontribusi apa-apa pada kemanusiaan. Demikian pula pada anak-anak perempuan. Banyak perempuan di dunia ini yang masih tergolong anak-anak sudah mengambil perannya sebagai ibu bangsa. Malala Yousafzai, contohnya. Gadis Pakistan yang berperan pada dunia sejak ia berusia 11-12 tahun lewat tulisannya. Ia mau anak di dunia ini memperoleh haknya dalam pendidikan. Ia meraih Nobel Perdamaian pada usia 17 tahun; perempuan termuda dengan penghargaan itu.
Maka lantas kalau Kongres Perempuan akan digelar lagi, saya (sok) berangan-angan jika Kongres Perempuan akan menghasilkan keputusan untuk mengganti Hari Ibu sebagai Hari Ibu Bangsa. Ini karepe dewe ya, hahaha. Tapi penting untuk menjaga makna. Sekalian agar tak banyak orang yang salah mengartikan kenapa harus ada Hari Ibu? Atau ada yang salah mengucapkan hanya kepada ibu kandungnya. Atau ada laki-laki yang salah mengucapkan hanya kepada istrinya, ibu dari anak-anaknya. Atau jadi diskriminatif hanya untuk perempuan yang sudah jadi ibu karena punya anak biologis. Yang mandul dan melajang, bukan ibu. Sementara potensi keibuan perempuan itu melekat karena ia sudah diberkahi rahim, terpakai atau tidak.
Hemat saya ya perlu dihapus saja Hari Ibu kalau bikin lupa itu juga untuk semua perempuan yang (jika) telah berperan sebagai ibu tepatnya jadi ibu bangsa. Perempuan yang berkarya, yang bergerak maju, yang menyelesaikan persoalannya sendiri, itu ibu bangsa. Termasuk diucapkan untuk anak-anak perempuan yang sudah membawa sikap keibuan dengan mampu memberi kontribusinya kepada sekitar dalam bentuk kejujuran, kepedulian, kasih sayang, penghargaan, penghormatan dan nilai-nilai kemanusiaan yang lain. Perempuan dan laki-laki yang punya rasa keibuan lah yang bisa mendidik anak-anak jadi begitu. Jadi kalau ditambah Hari Ibu Bangsa, Hari Ibu saja bisa dihapus. Dalam hati Anda ya, bukan penanggalan ya, nanti saya dimarahi pemerintah lho.
Sampai-sampai saya ekstrem kalau bisa tak perlu juga ada Hari Ibu, atau Hari Bapak atau Hari Perempuan karena tak perlu ada Hari Laki-laki atau hari-hari lain yang berjenis kelamin lainnya. Termasuk tak usah Hari Kartini, pahlawan bangsa lain bisa iri. Mestinya Hari Soekarno saja bukan karena ia laki-laki tapi karena Bapak Bangsa. Saya lebih memilih Hari Senyum, Hari Semangat, Hari Gembira, Hari Kreatif, Hari Memberi, Hari Membantu, Hari Mencipta, Hari Cita-cita atau hari-hari lain yang menyentuh kegembiraan semua jenis kelamin dan menyentuh kebutuhan hidup semua orang. Ya itu saya, Anda tentu berpikir lain. Tapi untuk anak-anak saya, tadi malam ucapannya saya terima karena memang Indonesia punya Hari Ibu.
Apalagi melihat Afghanistan yang sudah bersikap ibu kepada saya ibunya dan adiknya. Ia jauh lebih ibu dari saya yang tidak rapi-ia rapi, saya tidak rajin-ia rajin, saya tidak suka merawat diri-ia suka merawat diri, ia mau mengerjakan semua pekerjaan RT-saya pilih-pilih dan kalau sempat, dan sejumlah perbedaan buruk-baik dari dua perempuan dua generasi. Jadi ucapan itu lebih tepat untuk Afghanistan, perempuan muda-perempuan yang masih anak-anak tapi sudah menjadi ibu. Kedewasaannya dan kematangannya sebagai manusia penting untuk menjadikan ia siap dan survival menjadi manusia atau ibu bangsa entah apakah ia nanti ditakdirkan jadi ibu biologis atau tidak. Juga untuk para laki-laki yang juga punya potensi keibuan tanpa harus jadi perempuan lho.
Ucapan Afghanistan dan adiknya Vatikan menjelang detik pertama 22 Desember tetap saya sambut suka cita. Isi niatnya kan kasih sayang dan hormat pada ibunya. Tidak ada yang salah. Cuma buat keluarga saya, itu waktunya saya sebagai ibu-orang tua tunggal untuk memberi tahu mereka semua pemikiran saya di atas. Jadi mereka akan bisa mengucapkan Hari Ibu dengan lebih bermakna. Tidak diskriminatif apalagi eksklusif lantas naif. Itu saja. Tetap sih, Selamat Hari Ibu (Bangsa) ya Nak, temanku perempuan dan laki-laki, dan semua umat manusia yang memiliki kasih sayang dan punya sentuhan keibuan untuk kebaikan dunia.
#kerjamomongjalanjalan
Baca juga: Pencerahan dari GM Agung Nugroho
#ThePowerofSILATURAHIM
#SilaturahimerMarketing
#KOMPASSUNIK
#SilaturahimBerbagiBersinergi
by KOMPASS